a PERAN ULAMA UZBEKISTAN DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA » Ziyarah-Travel Agency
+99891 182 82 00
info@ziyarah-travel.uz

Payment style
Ziyarah Travel
» » PERAN ULAMA UZBEKISTAN DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

PERAN ULAMA UZBEKISTAN DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

PERAN ULAMA UZBEKISTAN DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Muchlis M Hanafi

Pendahuluan
Atas nama pribadi, dan atas nama Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama Republik Indonesia, perkenankan saya menyampaikan ucapan terima yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Republik Uzbekistan yang telah berkenan mengundang kami untuk berpartisipasi dalam kegiatan Forum Internasional I Wisata Ziarah.
Kami sampaikan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas upaya pemerintah Republik Uzbekistan dalam memperkenalkan kembali khazanah peradaban Islam di kawasan yang dulu dikenal sebagai negeri di balik sungai (bilâd mâ warâ`a al-nahr). Sebuah episode penting dalam mata rantai sejarah peradaban Islam, bahkan peradaban manusia, namun tidak diketahui banyak orang. Tidak terkecuali bagi masyarakat Indonesia. Frederick Star menyebutnya sebagai “pencerahan yang hilang” (the lost enlightment/ (التنوير المفقود. Saya berharap kegiatan ini dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kembali antara Uzbekistan sebagai negeri para ulama dan ilmuwan Muslim dengan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, yaitu Indonesia.

PERAN ULAMA UZBEKISTAN DALAM PENYEBARAN ISLAM DI INDONESIA

Para peneliti sejarah bersepakat, “negeri di balik sungai” menjadi salah satu pusat kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada kurun waktu abad ke-9-15 M. Kemajuan tersebut menandai era kebangkitan timur yang berpengaruh positif terhadap perkembangan ilmu dan budaya di Barat. Frederick Star dalam bukunya Lost Enlightment (al-Tanwîr al-Mafqûd), mengakui sebagian besar ulama, filsuf, penyair dan seniman pada masa keemasan Islam berasal dari negeri di balik sungai. Kemajuan peradaban dan kebudayaan di kawasan tersebut pada abad pertengahan memberikan pencerahan bagi Eropa yang sedang berada dalam era kegelapan.
Pada masa kejayaannya, pusat-pusat kota ‘negeri di balik sungai’ (Bukhara, Samarqand, Khawarizm, Syasy, Balkh dan lainnya) mampu menyaingi peran strategis kota-kota di kawasan timur Arab (Baghdad, Kairo dan Aleppo) dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kota Bukhara, misalnya, bisa disejajarkan dengan Kairo dan Baghdad. Begitu pula kota tua Samarqand sebagai pusat peradaban dunia sejajar dengan kota-kota tempat kelahiran peradaban dunia seperti Babilonia, Memphis, Athena, Roma dan Alexandria.

Kota-kota tersebut telah menjadi rahim bagi kelahiran peradaban gemilang dengan berbagai inovasi di bidang ilmu pengetahuan. Nama-nama itu lekat dengan tokoh-tokoh yang telah berkontribusi besar dalam sejarah kemanusiaan, seperti Al-Khawarizmi (w. 850; ahli matematika, astronomi dan geografi), al-Farabi (filsuf, ahli hokum dan imuwan politik), Ibnu Sina (428 H; ahli kedokteran dan ilmuwan ternama), al-Jurjani, al-Sijistani dan al-Biruni. Ulama-ulama hadis terkemuka yang dikenal sebagai penyusun ‘kutub sittah’; al-Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Tirmidzi berasal dari kawasan ini. Selain itu, ulama besar di bidang tafsir; Al-Zamakhsyari penulis tafsir al-Kassyaf dan al-Razi, pengarang kitab ‘Mafâtîh al-Ghayb’, dua kitab tafsir yang mu`tabar juga berasal dari sini.
Di bidang pemikiran Islam, terutama ilmu kalam yang menggunakan pendekatan logika, kawasan ini melahirkan tokoh sekaliber Abu Mansur al-Maturidi, Sa`duddin al-Taftazani, al-Syarif al-Jurjani dan lainnya. Ilmu kalam yang ‘diracik’ oleh al-Maturidi dan Abu al-Hasan al-Asy`ariy menjadi pedoman resmi dalam berakidah bagi kalangan pengikut Nahdhatul Ulama di Indonesia. Demikian pula di bidang tasawuf, tarekat Naqsyabandi yang dicetuskan oleh Bahauddin al-Naqsyabandi (717-791 H) lahir dari Uzbekistan. Tarekat Naqsyabandi mendapat tempat di hati umat Islam Indonesia, dan berjasa besar dalam membantu perjuangan kemerdekaan.
Tidak berlebihan bila saya mengatakan, peradaban Islam, bahkan kemanusiaan, berhutang budi kepada kota-kota bersejarah dan ara ulama di Kawasan Asia Tengah, terutama Uzbekistan. Oleh karenanya, kajian tentang sejarah dan khazanah keagamaan di kawasan tersebut menjadi penting dilakukan untuk menyambung mata rantai keilmuan dan kesejarahan yang terputus.

Penyebaran Islam di Indonesia

Indonesia adalah negara kesatuan dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, dan merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.553.363 orang. Diperkirakan saat ini berjumlah 256 juta jiwa dengan penduduk Muslim berjumlah 87 %.

Ahli sejarah berbeda pendapat tentang kapan, dari mana dan siapa yang pertama kali membawa Islam ke Indonesia. Berdasarkan sejumlah artefak sejarah, ada yang berkata, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 M, bersamaan dengan meluasnya kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Sebagian lagi berkata pada abad ke-13 M. Sejauh ini, berbagai teori yang muncul hanya menyebutkan peran para pedagang dari tanah Arab, atau melalui Persia, atau dengan perantara Gujarat di India. Meski berbeda, mereka bersepakat bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan damai, karena ketinggian dan kemuliaan akhlak para pembawanya.

Belum diketahui secara meyakinkan peran langsung ulama Uzbekistan dalam menyebarkan Islam di Indonesia pada masa awal. Kajian dan penelitian seputar itu masih perlu dilakukan. Namun mengabaikan peran tersebut juga tidaklah mungkin. Terdapat banyak fakta yang menunjukkan peran penting ulama Uzbekistan dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia. Antara lain:

Dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia ada beberapa sosok yang memiliki peran penting. Dikenal dengan nama “walisongo”. Dari ketokohan mereka kita bisa menelusuri jejak ulama Uzbekistan. Raden Ali Rahmatullah, yang popular disebut Sunan Ampel, adalah putra seorang ulama yang diduga berasal dari Uzbekistan, yaitu Syeikh Ibrahim Zainul Akbar, alias Syeikh Ibrahim al-Samarqandi. Makamnya ada di kota Tuban Jawa Timur. Orang-orang Jawa menyebutnya dengan nama Syekh Brahim Asmorokondi, atau Makhdum Asmoro. Babad tanah Jawi menyebutnya Makdum Brahim Asmoro. Beliaulah yang dipercayai sebagai ayah dari Sunan Ampel. ‘Asmorokondi’ adalah putra dari Syekh Jumadil Kubro alias Syekh Najmuddin Kubro atau Syekh Jamaluddin Akbar al-Huseini yang datang berdakwah terlebih dulu di Nusantara. Jejaknya ada di beberapa tempat di Indonesia. ‘Asmorokondi’ menyusul ke Jawa setelah mengislamkan Raja Champa (Negera Kamboja saat ini) dan menikahi putrinya. Keluarga inilah yang memainkan peranan penting dalam Islamisasi di kawasan Nusantara. KH. Abu Fadhol, Senori, Tuban, dalam Ahlal Musamarah fi Hikayat Auliya’ al-‘Asyrah, menjelaskan, Syekh Jumadil Kubro memiliki tiga orang anak: Sayyid Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri), Syekh Ibrahim As-Samarqandi, dan Sayyidah Ashfa yang diperistri seorang pangeran kerajaan Rum. Tak heran jika Muhammad Dhiya Syahab dan Abdullah bin Nuh menilai bahwa dari Syekh Ibrahim As-Samarqandi inilah kelak sebagian besar Wali Songo dilahirkan. Mereka adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Penisbatan mereka merujuk kepada tempat tinggal di mana mereka berada. Menurut Agus Sunyoto, berdasarkan dari kronologi waktu, Syekh Ibrahim as-Samarqandi diperkirakan datang ke Jawa pada sekitar tahun 1440 M.

Dalam perkembangan Islam di Indonesia pesantren memainkan peran penting dalam mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Banyak karya ulama Uzbekistan yang dikaji oleh para santri. Antara lain kitab Shahih al-Bukhari karya Muhamad bin Ismail al-Bukhari, tafsir al-Kassyaf karya al-Zamakhsyari dan sebagainya. Di beberapa pesantren masih berlaku tradisi mengkhatamkan bacaan kitab Shahih al-Bukhari. Ulama yang mengajarkan kitab tersebut memiliki sanad keilmuan yang bersambung sampai kepada penulisnya, Imam al-Bukhari. Begitu populernya sosok Imam al-Bukhari, Presiden pertama RI saat berkunjung ke Uzbekistan 4 September 1956 mencari makam Imam al-Bukhari untuk diziarahi. Saat meninggalkan Tashkent pada 6 September 1956, Bung Karno berpidato: “Kepada rakyat Uzbekistan, di Indonesia ada peribahasa yang berbunyi, “Jauh di mata, dekat di hati”. Hari ini saya meninggalkan Taskhent, tetapi hati saya akan selalu ingat kepada saudara-saudara dan kebaikan budi saudara-saudara. Juga segenap usaha saudara di atas lapangan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Semua tidak mudah saya lupakan. Karena itu saya meninggalkan Tashkent dengan berseru kepada saudara-saudara selamat tinggal. Selamat bekerja. Hiduplah persahabatan kita. Jauh di mata dekat di hati.”

Tarekat Naqsyabandi yang diajarkan seorang ulama Uzbekistan, Bahauddin al-Naqsyabandi, termasuk tarekat yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Tarekat ini bukan hanya sekadar ajaran tentang hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga menjadi penggerak bagi kebangkitan politik Islam melawan kekuatan penjajah sejak abad ke-19 di Indonesia. Peristiwa Cianjur tahun 1885, pemberontakan Cilegon tahun 1888 dan peristiwa Garut tahun 1919 merupakan bukti penting perlawanan tarekat naqsyabandiyah terhadap penjajahan Belanda.

Begitu besarnya peran ulama Uzbekistan dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Indonesia, nama-nama mereka sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Muslim Indonesia. Banyak orang tua menamakan anaknya dengan mengambil nama ulama-ulama tersebut, namun tanpa menyadari bahwa mereka berasal dari Uzbekistan. Islam dalam pandangan kebanyakan masyarakat Indonesia identik dengan tanah Arab. Oleh karenanya, upaya Pemerintah Uzbekistan untuk mengenalkan khazanah peradaban Islam yang lahir di tanah Uzbek patut diapresiasi. Kajian dan penelitian tentang jejak ulama Uzbekistan di tanah Nusantara juga perlu ditingkatkan.
7-03-2019, 13:12 / footer_info

Fakta menarik tentang

05 мая 2018 ,ziyarah
Ibu kota Uzbekistan adalah Tashkent. Kota...

Tentang Uzbekistan

12 апр 2018 ,ziyarah
...

Tarian nasional Uzbek

12 апр 2018 ,ziyarah
...